Pada tahun 2021 prevalensi penggunaan Napza dalam satu tahun terakhir di Indonesia berkisar 1,95% sekitar 3.66 juta. Yang artinya terdapat 195 orang diantara 10.000 penduduk dalam rentang usia 15-64 tahun  mengalami penyalagunaan Napza. Metampetamin ( Sabu) merupakan jenis Napza kedua yang paling sering digunakan di Indonesia. Metampetamine(sabu/ice/kristal) dan Methilen dioksi metamphetamine (MDMA) seperti inex/ekstasi merupakan turunan dari zat amphetamine yang bersifat psikostimulan. Sabu bekerja di sistem saraf pusat, sehingga hormon dopamine yang bekerja di reward system  meningkat tajam di otak, hal inilah yang membuat si pemakai merasa bahagia, euphoria, energi meningkat, dan lebih percaya diri. Gejala ini disukai hingga ketagihan untuk menggunakannya terus menerus. Pemakai akhirnya membutuhkan dosis yang makin meningkat untuk mendapatkan rasa “high” tersebut.

Tanda seseorang mengalami adiksi sabu berupa :

  • Menggunakan sabu secara berlebihan dan tidak bisa menghentikannya.
  • Mengalami gejala putus zat ketika tidak menggunakan sabu tersebut
  • Ada peningkatan dosis ( toleransi) untuk mendapatkan efek “high”
  • Mengabaikan hobbi dan aktivitas lainnya
  • Walaupun sudah mengalami konsekuensi negatif namun tetap menggunakan sabu tersebut, seperti bermasalah dengan hukum, masalah dalam keluarga, atau pekeraan/Pendidikan.

Adapun efek negatif  dari penggunaan sabu dapat berupa gejala perilaku agresif, mudah tersinggung, berhalusinasi, paranoia, drug dreams, bicara agak cadel, panik, depresi dan   sampai ada yang pencobaan bunuh diri. Selain itu intoksikasi metamphetamin (sabu) ini dapat berdampak ke otak, jantung, paru dan ginjal. Jika si pemakai tidak menggunakannya akan mengalami gejala putus zat ( withdrawal) yang bisa bertahan gejalanya hingga 3- 6 bulan berupa gejala craving, depresi, kecemasan dan mood swing.

Keberadaan sabu didalam tubuh kita berbeda-beda, di urin masih ditemukan dalam 1-4 hari, Saliva (air liur) dalam 2 hari pertama,  darah 3 hari  sedangkan di rambut bisa sampai 90 hari. Hal ini bisa menjadi acuan jika kita ingin memeriksa secara objektif seseorang yang menggunakan sabu.

Jika kita mengalami penyalagunaan sabu, mari mencari pertolongan profesional yaitu ke psikiater yang bergerak di bidang adiksi. Profesional akan memberikan tatalaksana berupa intervensi psikososial seperti motivational interviewing, terapi kognitif perilaku, relaps prevention strategi, terapi keluarga yaitu ikut melibatkan keluarga dalam proses pemulihan. Terapi psikofarmaka  sampai saat ini  belum ada terapi subsitusi yang spesifik, hanya diberikan terapi simptomatis untuk mengurangi gejala withdrawalnya.

Tetap  memiliki harapan bahwa recovery atau pemulihan adalah nyata. 

Salam sehat jiwa.

dr. Yenny S.Sinambela, SpKJ (K) – Konsultan Psikiatri Adiksi

Leave a Comment